Salah Kaprah Foto Masjidil Aqsha

Sabtu, 14 Maret 2009

Kenapa ya, kok masih banyak orang salah kaprah tentang Masjidil Aqsha. Bahkan website yang dimiliki majalah sekelas Majalah Sabili (lihat di sini: Gambar Masjid Al Aqsa di Botol Minuman Keras).

Dalam portal berita Majalah Sabili itu, gambar yang menjadi ilustrasi Masjidil Aqsha adalah sebuah bangunan berkubah kuning/emas. Jelas, salah kaprah. Itu bukan bangunan Masjidil Aqsha, melainkan Kubbah al-Sakhrah atau The Dome of The Rock.


Ini bukan Masjidil Aqsha, tapi Kubbah al-Sakhrah
Ini bukan Masjidil Aqsha, tapi Kubbah al-Sakhrah

Memang, Masjidil Aqsha dan Kubbah al-Sakhrah berada pada satu kompleks. Tapi, kubah Masjidil Aqsha bukan berwarna emas/kuning tapi perak kusam.

Foto yang tepat untuk Masjidil Aqsha ya yang ini (lihat foto di bawah ini):


Masjidil Aqsha (dengan kubah warna perak kusam)
Masjidil Aqsha (dengan kubah warna perak kusam)






***

Sejarah Arsitektur The Dome of The Rock


Dua ilustrasi gambar di bawah ini adalah ilustrasi tentang kompleks (haekal) bersejarah di Bukit Haram al-Syarif, Yerussalem. Masjid al-Aqsha, peninggalan Nabi Sulaiman yang terkenal itu terletak di kompleks itu. Di sana tampak dua buah bangunan berkubah: kubah bangunan pertama berwarna emas dan kubah bangunan kedua berwarna perak.


Kompleks suci di Jerussalem
Kompleks suci di Jerussalem





Bangunan dengan kubah berwarna emas itu adalah bangunan Kubah al-Sakhrah. Dalam kosa kata bahasa Inggris dinamai Dome of The Rock. Kebanyakan orang Islam, di luar Timur Tengah, lebih mengenal Masjid al-Aqsha dibandingkan Kubah al-Sakhrah. Padahal, bangunan ini merupakan masterpiece arsitektur pertama yang dibangun (bukan hanya sekedar memugar) oleh penguasa Islam pascaMuhammad.

Di dalam bangunan berbentuk segi delapan tersebut, terdapat sebuah batu hitam: sakhrah al-muqaddasah yang diyakini sebagai tempat Nabi Ibrahim hendak ‘menyembelih’ putranya Isma’il.

Bahkan, dianggap pula sebagai tempat persinggahan Nabi Muhammad tatkala melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj. Kubah al-Sakhrah dibangun kembali selama lima tahun (687-692)–sebelum pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan, dari Dinasti Umayyah. Dialah pengganti khalifah Yazid I, orang yang dianggap bertanggung jawab atas syahid-nya Husain bin ‘Ali Abi Thalib. Sebelum itu, hanya berupa monumen biasa berbentuk kubah yang dibangun oleh ‘Umar ibnu al-Khaththab.

Demi memperkuat posisi Damaskus (ibu kota kekhilafahan Umayyah) dalam percaturan politik internasional, Abdul Malik berfikir untuk membangun sebuah bangunan mercusuar sebagai bagian dari alat propaganda politik negara. Bangunan itu, dalam benak Abdul Malik, diharapkan bisa menarik lebih banyak peziarah ke Jerussalem, yang pada saat itu berada di bawah kendali Damaskus. Kharisma Yeru-salem bagi pemeluk tiga agama samawi: Islam, Kristen dan Yahudi dianggap sangat menguntungkan Damaskus.

Syahdan, Abdul Malik pun mulai mengumpulkan para insinyur dan arsitek yang pernah dilatih oleh arsitek kawakan yang pernah menjadi pegawai pemerintah Byzantium (Romawi). Para arsitek dan insinyur dari Arab itu, sebagian lagi asli Syiria, dilatih pada masa Muawwiyah—sang pendiri dinasti—berkuasa. Mereka inilah yang mendesain proyek Kubah al-Sakhrah hingga ke bagian detailnya. Namun, Abdul Malik menunjuk seorang ahli bangunan bangsa Syiria menjadi pimpinan proyek sebagai penghormatan bagi orang Syria, tempat Damaskus berada. Sedangkan, pelukis mosaik didatangkan dari Konstantinopel (sekarang Istambul di Turki).

Ornamen bangunan yang dibuat oleh para ahli mosaik Turki itu didominasi oleh motif tanaman. Malahan pada ornamen yang didominasi warna biru itu hampir tidak ada motif manusia. Sementara itu, struktur kubah juga memiliki kesamaan dengan kubah pada bangunan Qalat of Siman dan kubah Katederal di Bashra yang telah lebih dulu berdiri. Kedua bangunan ini juga didirikan pada masa pemerintahan Byzantium. Kerangka kubah dibuat dua lapis: luar dan dalam, dengan bahan kayu. Kerangka luar dibuat agak menonjol dibanding kerangka dalam yang berbentuk setengah lingkaran (seperi bola dunia dibelah dua).

Ada satu pelajaran yang bisa kita ambil dari sejarah pembangunan Kubah al-Sakhrah ini: Abdul Malik mengaplikasikan gaya arsitektur zaman Byzantium dalam karya besarnya. Bahkan, ilmu rancang bangunannya pun diperoleh dari para ahli bangunan jaman Byzantium. Inilah yang disebut dengan: “al-muhafadzhoti ala al-qodimi sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-aslah”. Bermakna: tetap mempertahankan sesuatu yang klasik (baik) kemudian kita mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar